Baca Juga
BIJAKNEWS.COM -- Pendukung pasangan calon (paslon) presiden-wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di media sosial diduga lebih banyak bergerak sebagai pasukan siber dengan komando terpusat. Sementara, pendukung pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin lebih banyak bergerak secara individual.
Selain itu, kalangan pendukung Prabowo-Sandi juga lebih banyak memiliki akun media sosial yang mencurigakan. Cirinya, akun yang baru dibuat dan dengan pengikut atau follower sedikit.
Hal itu didasarkan oleh analisis media sosial dari perusahaan analis big data GDILab (Generasi Digital Indonesia) sepanjang 2018.
"Dapat diindikasikan perilaku di kluster paslon Prabowo-Sandi terindikasi cyber troops, sementara kluster pendukung paslon Jokowi-Ma'ruf terindikasi dukungan individu," kata Chief Business dan co-founder GDILab Jeffry Dinomo alias Uje, dalam ForuMedsoSehat, di Jakarta, Minggu, 16 Desember 2018.
Itu didasarkan atas tiga hal. Pertama, perbandingan jumlah konten unggahan orisinal dan bukan unggahan ulang atau retweet.
Dari hasil analisis pihaknya, pendukung Jokowi-Ma'ruf memiliki 14,7 persen konten orisinal yang berisi program kerja yang sudah dan akan dikerjakan jika terpilih lagi. Misalnya, soal pengoperasian tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi).
Selain itu, 69,4 persen konten mereka merupakan retweet konten asli dan 15,9 persen konten mendapatkan balasan berupa komentar.
Di sisi lain, pendukung Prabowo-Sandi hanya memiliki 1,3 persen konten asli alias hasil postingan sendiri. Sementara, konten retweet mencapai 89,7 persen, dan hanya 8,9 persen membalas. Contohnya, dalam hal isu reuni 212.
Kedua, koordinasi yang baik dalam isu tertentu. Uje berpendapat konten yang dihasilkan kubu Prabowo-Sandi lebih terkoordinasi dengan baik. Namun secara interaksi, konten pendukung Jokowi dinilai lebih baik.
"Jadi biasanya dari seginya Prabowo itu hanya untuk menggunakan medsos untuk menaikkan salah satu isu kemudian diviralkan. Kalau di timses jokowi kebalikannya, mereka lebih menyampaikan untuk menghasilkan percakapan yang baik," tuturnya.
Menurut Uje, konten yang baik adalah konten yang terjadi melalui percakapan. Jadi, ketika ada yang menyampaikan sebuah informasi, ada yang menerimanya.
"Kalau sekarang yang terjadi tidak seperti itu. Kebanyakan konten setelah disampaikan langsung disebarkan, bukan dikonfirmasi dulu," lanjutnya.
Ketiga, jumlah akun dengan perilaku mencurigakan atau suspicious behaviour yang lebih besar di kubu Prabowo. Hal ini diindikasikan dengan cukup banyaknya partisipan alias pendukung yang berasal dari akun-akun dengan jumlah follower di bawah 50 dan usia akun di bawah 6 bulan.
"Beberapa di antaranya banyak yang baru lahir di bulan Desember. Ada 3,8 persen akun yang terlibat di kluster Jokowi-Ma'ruf dan terindikasi, sedangkan 4,9 persen akun yang terlibat di kluster Prabowo-Sandi yang terindikasi," lanjutnya.
"Secara prosentase, terhadap keterlibatan di masing-masing akun, kluster Prabowo-Sandi prosentase suspicious account lebih besar," Uje menambahkan.
Kendati demikian, Uje enggan menjawab apakah akun-akun mencurigakan ini dikomandoi oleh seorang konsultan. Dia hanya membenarkan bahwa perilaku ini terpusat.
"Kalau ada konsultan atau enggak, saya tidak tahu, tapi yang pasti itu memang terpusat. Kita enggak sampai membedah siapa mastermind," tutupnya.
Gerindra Meradang
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menantang Generasi Digital Indonesia (GDILab) membuka hasil analisisnya yang menyebut mayoritas pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno merupakan pasukan siber alias cyber troops.
Sebelumnya, perusahaan analisis big data GDILab menyatakan pendukung Prabowo-Sandi di media sosial diduga lebih banyak bergerak seperti pasukan siber dengan komando terpusat.
"Dibuka saja akun yang katanya fiktif, akun robot pendukung Prabowo-Sandi itu yang mana. Jangan asal ngomong," tutur Dasco kepada CNNIndonesia.com melalui pesan suara, Senin, 17 Desember 2018.
Dasco mengatakan tidak banyak lembaga yang mampu meriset data soal akun-akun fiktif di media sosial. Karenanya, kata dia, alangkah baik jika GDILab membuka hasil analisisnya dan merinci akun-akun fiktif pendukung Prabowo-Sandi yang dimaksud.
"Kita bandingin saja. Jangan terus menuduh-nuduh," kata Dasco.
Dasco menjelaskan setiap akun pendukung Prabowo-Sandi di media sosial tidak fiktif. Semuanya ada di dunia nyata.
Dasco lantas menganggap GDILab sebagai kubu Jokowi-Ma'ruf, atau lawan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019. Menurut dia, hasil analisis GDILab cenderung tendensius.
"Kalau kalah di medsos, kalah di medsos saja. Jangan banyak akun pendukung Prabowo-Sandi dibilang robot. Dibuka saja kalau benar," ucap Dasco.
(Sumber: CNNIndonesia.com)
Selain itu, kalangan pendukung Prabowo-Sandi juga lebih banyak memiliki akun media sosial yang mencurigakan. Cirinya, akun yang baru dibuat dan dengan pengikut atau follower sedikit.
Hal itu didasarkan oleh analisis media sosial dari perusahaan analis big data GDILab (Generasi Digital Indonesia) sepanjang 2018.
"Dapat diindikasikan perilaku di kluster paslon Prabowo-Sandi terindikasi cyber troops, sementara kluster pendukung paslon Jokowi-Ma'ruf terindikasi dukungan individu," kata Chief Business dan co-founder GDILab Jeffry Dinomo alias Uje, dalam ForuMedsoSehat, di Jakarta, Minggu, 16 Desember 2018.
Itu didasarkan atas tiga hal. Pertama, perbandingan jumlah konten unggahan orisinal dan bukan unggahan ulang atau retweet.
Dari hasil analisis pihaknya, pendukung Jokowi-Ma'ruf memiliki 14,7 persen konten orisinal yang berisi program kerja yang sudah dan akan dikerjakan jika terpilih lagi. Misalnya, soal pengoperasian tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi).
Selain itu, 69,4 persen konten mereka merupakan retweet konten asli dan 15,9 persen konten mendapatkan balasan berupa komentar.
Di sisi lain, pendukung Prabowo-Sandi hanya memiliki 1,3 persen konten asli alias hasil postingan sendiri. Sementara, konten retweet mencapai 89,7 persen, dan hanya 8,9 persen membalas. Contohnya, dalam hal isu reuni 212.
Kedua, koordinasi yang baik dalam isu tertentu. Uje berpendapat konten yang dihasilkan kubu Prabowo-Sandi lebih terkoordinasi dengan baik. Namun secara interaksi, konten pendukung Jokowi dinilai lebih baik.
"Jadi biasanya dari seginya Prabowo itu hanya untuk menggunakan medsos untuk menaikkan salah satu isu kemudian diviralkan. Kalau di timses jokowi kebalikannya, mereka lebih menyampaikan untuk menghasilkan percakapan yang baik," tuturnya.
Menurut Uje, konten yang baik adalah konten yang terjadi melalui percakapan. Jadi, ketika ada yang menyampaikan sebuah informasi, ada yang menerimanya.
"Kalau sekarang yang terjadi tidak seperti itu. Kebanyakan konten setelah disampaikan langsung disebarkan, bukan dikonfirmasi dulu," lanjutnya.
Ketiga, jumlah akun dengan perilaku mencurigakan atau suspicious behaviour yang lebih besar di kubu Prabowo. Hal ini diindikasikan dengan cukup banyaknya partisipan alias pendukung yang berasal dari akun-akun dengan jumlah follower di bawah 50 dan usia akun di bawah 6 bulan.
"Beberapa di antaranya banyak yang baru lahir di bulan Desember. Ada 3,8 persen akun yang terlibat di kluster Jokowi-Ma'ruf dan terindikasi, sedangkan 4,9 persen akun yang terlibat di kluster Prabowo-Sandi yang terindikasi," lanjutnya.
"Secara prosentase, terhadap keterlibatan di masing-masing akun, kluster Prabowo-Sandi prosentase suspicious account lebih besar," Uje menambahkan.
Kendati demikian, Uje enggan menjawab apakah akun-akun mencurigakan ini dikomandoi oleh seorang konsultan. Dia hanya membenarkan bahwa perilaku ini terpusat.
"Kalau ada konsultan atau enggak, saya tidak tahu, tapi yang pasti itu memang terpusat. Kita enggak sampai membedah siapa mastermind," tutupnya.
Gerindra Meradang
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menantang Generasi Digital Indonesia (GDILab) membuka hasil analisisnya yang menyebut mayoritas pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno merupakan pasukan siber alias cyber troops.
Sebelumnya, perusahaan analisis big data GDILab menyatakan pendukung Prabowo-Sandi di media sosial diduga lebih banyak bergerak seperti pasukan siber dengan komando terpusat.
"Dibuka saja akun yang katanya fiktif, akun robot pendukung Prabowo-Sandi itu yang mana. Jangan asal ngomong," tutur Dasco kepada CNNIndonesia.com melalui pesan suara, Senin, 17 Desember 2018.
Dasco mengatakan tidak banyak lembaga yang mampu meriset data soal akun-akun fiktif di media sosial. Karenanya, kata dia, alangkah baik jika GDILab membuka hasil analisisnya dan merinci akun-akun fiktif pendukung Prabowo-Sandi yang dimaksud.
"Kita bandingin saja. Jangan terus menuduh-nuduh," kata Dasco.
Dasco menjelaskan setiap akun pendukung Prabowo-Sandi di media sosial tidak fiktif. Semuanya ada di dunia nyata.
Dasco lantas menganggap GDILab sebagai kubu Jokowi-Ma'ruf, atau lawan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019. Menurut dia, hasil analisis GDILab cenderung tendensius.
"Kalau kalah di medsos, kalah di medsos saja. Jangan banyak akun pendukung Prabowo-Sandi dibilang robot. Dibuka saja kalau benar," ucap Dasco.
(Sumber: CNNIndonesia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar