Baca Juga
JAKARTA, BijakNews.com -- Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Samratul Fuad mengatakan, people power adalah suatu cara untuk menggerakkan massa. Namun harus disandarkan ke sesuatu yang konstitusional.
"Kalau yang namanya people power itu, menggerakan massa dan mereka menyandarkan ke sesuatu yang konstitusional, kenapa tidak?" ujarnya ketika dihubungi, baru-baru ini.
Namun, kata Samratul Fuad, yang perlu dipertanyakan adalah untuk apa mereka melakukan people power.
"Yang perlu dipertanyakan people power itu adalah, untuk apa mereka melakukan people power? Apa argumennya?" tegasnya.
Makanya, kata Samratul Fuad, ketika dianggap ada kecurangan-kecurangan pemilu, tetapi itu tidak bisa dibutikan secara teknis prosedural hukum, sebaiknya dibentuk tim pencari fakta.
"Makanya, kita lebih suka melakukan tim pencari fakta untuk kasus-kasus tertentu, misalnya keberpihakan kepala daerah. Kenapa bisa seperti itu, kepada salah satu peserta pemilu," urainya.
Tim pencari fakta itu, jelas Samratul Fuad, dibentuk dengan tujuan mencari perbaikan-perbaikan terhadap Undang-undang pemilu ke depannya. Sehingga Undang-undang tidak lagi memberi ruang untuk kecurangan-kecurangan sekecil apa pun.
"Jadi, kalau people power argumennya bisa diterima secara konstitusional, kenapa tidak? Tetapi kalau people power untuk mengganti kekuasaan, itu akan menjadi problem pula," tukuknya.
Menurut Samratul Fuad, tidak tepat kalau teknis pemilu dilarikan ke people power. Karena persoalan semacam itu cukup ditangani Mahkamah Konstitusi.
"Tapi kalau hubungannya teknis pemilu dilarikan ke people power, itu kalau menurut saya tidak pula tepat. Sebab, kalau soal teknis pemilu hanya berkaitan dengan angka-angka. Kalau mereka tidak bisa membuktikan persoalan teknis, maka itu kelalaian peserta pemilu. Sebab, mereka sudah diberi Undang-undang untuk menyiapkan saksi-saksi, dan Undang-undang sudah memberikan bahwa setiap saksi itu berhak mendapatkan C1. Jika tidak diberikan C1 malah menjadi pidana," terangnya.
Kalau soal teknis pemilu yang berkaitan dengan angka-angka, terang Samratul Fuad, dijadikan alasan people power, tentu tidak logis. Tetapi kalau ada kebijakan yang melanggar asas tertentu, itu bisa menjadi dasar untuk people power.
"Sekarang pertanyannya, kebijakan yang mana? Tentu bagi orang yang menggerakan itu, tentu harus mereka kaji, kebijakan mana yang dianggap melanggar, curang dan lain sebagainya. Tentu beban pembuktian itu atas nama mereka. Misalnya ada salah satu kementerian, kalau terkait pilres, ada kebijakannya ini, tapi tidak dimakan hukum, itu mungkin menjadi dasar menggerakan people power. Bahwa orang itu harus dihukum, kan gitu?" jelasnya.
Konteksnya, kata Samratul Fuad, harus di hukum. Tapi kalau konteksnya untuk menjatuhkan kekuasaan, maka menjadi tidak mungkin. Sebab, akan merobek-robek negara ini.
"Tapi kalau konteksnya menjatuhkan kekuasaan, itu tidak mungkin. Tentu bacabik-cabik negara awak," cakapnya.
(by)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar