Breaking

Jumat, 15 Oktober 2021

Realisasi PBB Nagari Buayan Rendah, Ini Saran Leonardy Harmainy

Baca Juga


BIJAKNEWS.COM -- 
Lima korong di Nagari Buayan, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman terbilang rendah realisasi pengumpulan pajak bumi dan bangunan (PBB). Bahkan ada yang walikorong yang cuma berhasil mengumpulkan Rp500.000. Padahal target pajak ya Rp10 juta.

Walinagari Buayan, Deni Setiawan, SH menyatakan realisasi PBB di nagarinya paling tinggi 38 persen. Rendahnya realisasi ini disebabkan hasil pertanian di daerahnya cukup rendah dibandingkan kondisi sebelum pandemi Covid-19.

Rendahnya hasil pertanian menjadikan masyarakat kesulitan membayar PBB yang cukup tinggi nilainya. "Umumnya mayarakat kami bertani pak, maka jika hasil tani menurun akan berakibat pada hal-hal lainnya," ujar Deni.

Selain itu, kata Deni, realisasi PBB ini juga dipengaruhi sejumlah kendala yang ditemui para walikorong dan kolektor yang ditunjuk untuk memungut PBB tersebut. "Kendala ini akan dijelaskan oleh walikorong yang lebih memahami kondisi di lapangan," ujarnya lagi.

Namun sebelum giliran walikorong, dalam kesempatan itu walinagari mengharapkan agar walinagari yang sudah purna bakti diberikan perhatian atau penghargaan. Dia juga minta honor Bamus dinaikkan.

Walikorong Kepala Buayan Edi Koan Zunianto menyebutkan target PBB yang dibebankan terhadap korongnya Rp13 juta. Hanya saja realisasi Rp5 juta pada 2019. Pada 2020, realisasi menurun.

Di wilayahnya, ada 150 hektar sawah. Umumnya yang punya sawah adalah orang di luar korong tersebut. Penggarap sudah diingatkan untuk memberi tahu pemilik untuk bayar PBB sawah mereka. Namun tak dibayar juga. 

"Warga yang tinggal di Korong kami umumnya mau membayar pajak. Mereka yang tinggal di luar korong yang tidak membayar," tegasnya.

Nama di SPPT juga jadi persoalan. Nama pemilik yang tertera adalah nenek atau orang tua dari wajib pajak yang saat ini tinggal di korong itu. Mereka tidak mau bayar. 

Begitu juga dengan lahan yang sudah dijual. SPPT masih atas nama pemilik lama. Sertifikat sudah berubah namanya sementara di SPPT tidak. Pemilik baru tidak mau  bayar karena bukan atas nama dia.

"Kami sudah laporkan ke Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman yang terkait dengan pajak. Namun belum ada perubahan. Bagusnya di data ulang saja," ujar Edi yang sudah 30 tahun mengurusi masyarakat mulai dari dusun hingga korong saat ini.

Edi juga mengingatkan tentang upah pungut per lembar SPPT yang kini tak ada lagi. Dulu sebelum 2018 dia masih menerima Rp2.000 per SPPT.

Walikorong Titian Akar, Arif Rahman menyebutkan korongnya ditargetkan Rp10 juta. Namun pada 2019 dan 2020 hanya bisa direalisasikan Rp4 juta. Untuk tahun ini baru terkumpul Rp1 juta.

Kendala yang dihadapi, kata Arif berkaitan dengan faktor ekonomi. Dimana hasil pertanian mengalami penurunan di masa pandemi ini. Penyebab lainnya adalah wajib pajak yang berada di luar nagari dan tidak diketahui keberadaannya. Perubahan kepemilikan juga mendatangkan permasalahan tersendiri.

Walikorong Simpang Buayan, Hendro Hozan mengatakan dia hanya mampu mengumpulkan pada tahun 2019 sebanyak Rp2,5 juta. Begitu juga tahun 2020. Sedangkan tahun 2021, per Oktober telah terkumpul Rp1 juta. Targetnya Rp8 juta.

Di Korong Simpang Buayan masalahnya lain lagi. Nama wajib pajak tidak muncul. 

Tanah yang dibelah oleh jalan negara tidak muncul SPPT-nya. Kalo pun ada namanya, objek pajak tidak diketahui. Bahkan tidak ada lagi.

Walikorong Kampung Tangah, Apta Satrio menyebutkan dari target PBB Rp9 juta hanya mampu dikumpulkan sebanyak Rp3,5 juta. Untuk tahun 2021 baru mampu ditagih sebanyak Rp1,5 juta.

"Di korong kami juga banyak yang tidak tau namanya. Tak ada SPPT lagi. Kami mohon penataan ulang agar kami mudah memungutnya," harap Satrio.

Dari kelima korong, hanya Padang Kunik yang mampu mengumpulkan Rp500.000 saja pada 2019 dan 2020. Itu pun dibantu kolektor yang ditunjuk nagari. 

Kini walikorongnya sedang kosong karena yang lama mengundurkan diri. Makanya tahun ini masih belum ada pemungutan PBB. 

Sekretaris Nagari, Agung Eko Saputra, SE pun mendukung pemaparan para walikorong. Dia tak lupa meminta fasilitasi agar mereka mendapatkan nomor induk perangkat nagari. Agung mengharapkan diberikannya BPJS Kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan bagi staf.

Menanggapi pemaparan walinagari dan walikorong yang ada di Buayan, Anggota DPD RI, H. Leonardy Harmainy Dt. Bandaro Basa, S.IP., MH mengatakan informasi yang dia terima sangat bermanfaat untuk tugas pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang perubahan atas UU No. 12/1984 tentang PBB.

Dalam aturan itu disebutkan PBB menjadi pendapatan negara. Sebanyak 90 persen  diantaranya dikembalikan ke daerah (provinsi, kabupaten dan kota).

"Berarti besar realisasinya, pengembalian PBB ke daerah makin tinggi. Dengan tingginya pengembalian, makin besar dana yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan daerah," ujar Leonardy.

Memang sulit memungut pajak yang objeknya ada tapi pemilik tidak dikenal, atau objeknya ada namun pemiliknya berada di nagari atau daerah lain.

Walinagari diminta Leonardy untuk mengkalkulasikan jumlah PBB yang tak bisa ditagih. Jika 50 persen atau lebih, berarti ada yang harus dibenahi agar PBB yang ditargetkan lebih tinggi realisasinya.

Salah satu cara mengatasi kesulitan yang dihadapi para walikorong ini yaitu dengan penataan ulang. Hanya saja, harus disadari dasar penerapan PBB itu dari nilai jual objek pajak (NJOP) yang sekali tiga tahun bisa ditetapkan naik oleh Menteri Keuangan.

Jika ditata ulang, bisa saja NJOP tanah atau bangunan tersebut naik. Maka PBB-nya juga naik.

"Pertanyaannya apakah masyarakat mau membayarnya kalau sudah naik. Sekarang saja mereka sepertinya enggan membayar PBB. Jadi masalah baru bagi walikorong atau kolektor nantinya," ujar Ketua Badan Kehormatan DPD RI itu.

Terkait upah pungut yang hilang sejak 2018, dikatakan Leonardy bisa jadi penyebab menurunnya semangat walinagari untuk memungut PBB. Namun sekarang kan ada insentif untuk realisasi di atas 75 persen," ungkap Leonardy.

Untuk itu dia mengharapkan agar walinagari memotivasi walikorong untuk meningkatkan realisasi PBB sesuai target yang ditetapkan. Jika capaian target nagari melebihi 75 persen, maka insentif yang lebih besar bakal diterima. 

Terkait harapan walinagari dan perangkatnya, Leonardy mengatakan hal itu sudah menjadi perhatian dari Komite IV DPD RI. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar