Baca Juga
Oleh: Nanda Satria
Wakil Ketua DPRD Sumatera Barat
Banjir bandang bukan sekadar peristiwa alam yang menimbulkan kerusakan fisik seperti rumah hancur, jalan putus, dan fasilitas umum rusak. Dampak yang jauh lebih besar dan sering luput dari perhatian adalah terhentinya perputaran roda ekonomi masyarakat.
Sumber-sumber ekonomi yang selama ini menjadi sandaran hidup warga—baik pertanian, perdagangan kecil, jasa, maupun usaha rumah tangga—banyak yang berhenti total. Sebagian bahkan lenyap seketika, sementara yang masih bertahan tidak lagi bergerak dengan kecepatan dan kapasitas seperti sebelum bencana. Akibatnya, pendapatan masyarakat turun drastis dan risiko kemiskinan meningkat.
Oleh karena itu, bencana tidak boleh dipahami hanya sebagai persoalan darurat hari ini. Kita harus melihatnya lebih jauh sebagai persoalan keberlanjutan ekonomi dan sosial. Jika tidak dimitigasi dengan kebijakan yang tepat, dampak jangka panjangnya justru bisa jauh lebih buruk bagi Sumatera Barat.
Pemulihan Pasca Bencana: Fokus pada Kebutuhan Daerah
Setelah masa tanggap darurat berlalu, pekerjaan besar berikutnya adalah pemulihan kehidupan masyarakat. Proses pemulihan (recovery) ini membutuhkan strategi yang matang dan berpijak pada kebutuhan nyata di daerah, bukan semata-mata pada pendekatan seragam dari pemerintah pusat.
Karena itu, partisipasi masyarakat harus menjadi kata kunci dalam proses recovery. Masyarakat bukan sekadar objek bantuan, melainkan subjek utama yang terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pemulihan pasca bencana.
Partisipasi ini harus diwujudkan dalam langkah-langkah praktis, bukan hanya jargon atau konsep di atas kertas. Pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi secara aktif untuk mempercepat penanganan dan memastikan pemulihan berjalan adil dan berkelanjutan.
Lima Prioritas Pemulihan Pasca Banjir Bandang
Lalu, apa saja langkah konkret yang harus dilakukan?
1. Penanganan Hunian Korban Bencana Secara Manusiawi
Prioritas pertama adalah penanganan hunian bagi korban banjir. Pemerintah tidak boleh memaksakan kebijakan relokasi yang justru mencabut masyarakat dari akar budaya, jaringan sosial, dan pola hidup mereka.
Relokasi harus dilakukan secara fleksibel dan memberi ruang bagi relokasi mandiri, terutama bagi masyarakat yang masih ingin bertahan di lingkungan asalnya dengan penyesuaian mitigasi risiko. Pemerintah juga tidak boleh tergesa-gesa memindahkan warga ke kawasan baru yang luas namun jauh dari sumber mata pencaharian dan kehidupan sosial mereka.
2. Pemulihan Ekonomi Pengusaha Kecil dan UMKM
Prioritas kedua adalah pemulihan ekonomi masyarakat, khususnya pengusaha kecil dan UMKM. Pengalaman dari berbagai penanganan bencana menunjukkan bahwa pasca bencana sering terjadi lonjakan angka kemiskinan akibat lumpuhnya usaha kecil.
Karena itu, pemerintah perlu menyediakan bantuan modal usaha, relaksasi kredit, dan kebijakan perbankan yang berpihak kepada korban terdampak. Langkah ini penting untuk memberi “napas” bagi masyarakat agar dapat kembali membangun usaha dan menggerakkan ekonomi lokal.
3. Perlindungan Masyarakat Rentan dan Miskin melalui BLT
Ketiga, bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan, pemerintah harus mempercepat pencairan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program ini sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan.
BLT harus dipandang sebagai instrumen perlindungan sosial agar masyarakat tidak terjebak dalam kemiskinan struktural akibat bencana.
4. Recovery yang Mengutamakan Perputaran Uang di Daerah
Keempat, seluruh program recovery harus mengedepankan prinsip “uang beredar di daerah”. Berkaca pada pemulihan pasca gempa Sumatera Barat tahun 2009, pertumbuhan ekonomi daerah sempat melonjak hingga lebih dari 10 persen. Hal ini terjadi karena proses recovery melibatkan masyarakat lokal secara luas.
Prinsip yang sama harus diterapkan pasca banjir bandang ini. Pemerintah harus:
Mengutamakan belanja kepada pelaku usaha lokal,
Melibatkan kontraktor dan tenaga kerja dari Sumatera Barat,
Memastikan masyarakat setempat terlibat dalam setiap tahapan pembangunan.
Dengan demikian, dana bantuan dan anggaran pemerintah benar-benar dirasakan langsung oleh masyarakat dan mampu mempercepat pemulihan ekonomi Sumatera Barat secara menyeluruh.
5. Integrasi Mitigasi Bencana dalam Kehidupan Masyarakat
Kelima, pemerintah harus menginternalisasi prinsip mitigasi bencana sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem peringatan dini (Early Warning System) tidak boleh hanya menjadi pajangan, dan simulasi bencana tidak boleh sekadar kegiatan seremonial yang menghabiskan anggaran.
Mitigasi harus menjadi budaya, dipahami, dan dipraktikkan oleh masyarakat secara berkelanjutan. Penanganan bencana harus menjadi bagian dari strategi pembangunan dan sekaligus menjadi penopang ekonomi masyarakat.
Program penanganan bencana baik fisik maupun nonfisik harus melibatkan masyarakat lokal dan memberi manfaat nyata bagi mereka. Ini bukan soal ego kedaerahan, bukan pula bentuk ketidakpercayaan kepada pihak luar, dan bukan untuk melindungi kepentingan segelintir orang kaya lokal.
Ini adalah wujud kehadiran dan keberpihakan negara demi keberlanjutan ekonomi masyarakat terdampak bencana. Kita tidak ingin kesalahan tata kelola penanganan bencana justru melahirkan bencana baru, yakni hilangnya hak masyarakat untuk hidup sejahtera dan terperangkap dalam jurang kemiskinan.
























































Tidak ada komentar:
Posting Komentar