Breaking

Sabtu, 08 Agustus 2020

Catatan Buya Wardas Tanjung: Ketika Wako Dipercarutkan Warga (Sebuah Tinjauan Sosio Politik)

Baca Juga


SEHARI menjelang Ulang Tahun Kota Padang ke 351, warga kota digegerkan oleh tingkah seorang perempuan setengah baya, pedagang K.5 yang mempercarutkan Walikota Mahyeldi Ansharullah di Taplau. Perempuan itu kemudian diketahui bernama Emi dan tinggal di Berok. 

Kendati buk Emi akhirnya minta maaf dan Walikota telah memaafkannya terlebih dahulu, video rekaman kejadian itu langsung viral di media sosial dan mendapat tanggapan beragam dari nitizen, setidaknya terpola ke dalam dua kelompok; pro dan kontra. 

Kelompok yang pro datang dari nitizen yang berseberangan dengan Mahyeldi sedangkan yang kontra datang dari para pendukung setia sang Wako. 

Kelompok yang berseberangan merupakan orang orang yang menjadi lawan politik, terkait majunya Mahyeldi sebagai Calon Gubernur Sumbar pada Pilkada 2020 ini. Mereka bisa jadi berasal dari barisan sakit hati-BSH yang dulu mungkin pernah tergusur dan tergeser dari jabatan di Pemko Padang, orang orang yang merasa berjasa atas kemenangan Mahyeldi pada Pilwako lalu tapi sekarang merasa kurang mendapat perhatian, bisa juga dari kalangan partai pesaing.

Sementara kelompok yang kontra adalah orang orang dari  partai pengusung Mahyeldi beserta kader dan simpatisannya serta  jajaran pejabat di lingkungan Pemko Padang. 

Bagi kelompok yang pro, kejadian itu adalah menu yang bisa digoreng dan digulai agar popularitas dan elaktabilitas Mahyeldi turun menjelang Pilkada bulan Desember nanti. Kejadian itu sekaligus akan menjadi senjata untuk menyerang sosok Mahyeldi yang tenang, sejuk dan penyabar agar langkahnya terhenti sampai di sini. 

Namun akan sangat berbeda dengan kelompok yang kontra, mereka akan menjadikan  peristiwa tersebut sebagai "selling point" karena di video terlihat dengan jelas sikap tenang, sabar, kebapakan dan kemamakan seorang Mahyeldi.

Tidak semua pemimpin bisa bersikap seperti itu saat menghadapi caci maki, carut pungkang dan ejekan yang memiriskan dari warganya. Andai bukan Mahyeldi, entah apalah yang akan terjadi pada pagi itu. 

Terlepas dari pro kontra pendapat yang tengah berkembang, saya ingin mengemukakan catatan   sbb :

Satu, peristiwa ini terjadi di ranah Minang,  orang yang mempercarutkan dan dipercarutkan adalah orang Minang. Oleh karenanya sedikit banyak keduanya merepresentasikan watak dan karakter orang Minang. 

Meski bercarut bagi orang Minang termasuk perilaku yang sumbang, tidak beretika, kurang beradat, bahkan dianggap sesat, yang jelas bercarut ada dalam ucapan dan perilaku orang Minang. Mereka akan bercarut apabila kemarahannya sudah sangat memuncak, tidak bisa lagi menahan emosi atau sedang kehilangan keseimbangan (misalnya mabuk). Akan tetapi sepecarut pecarutnya orang Minang, dia tidak  akan mempercarutkan orang yang lebih tua daripadanya, apalagi seorang datuk, apalagi seorang pimpinan (pimpinan ibukota provinsi lagi). Oleh sebab itu kasus ibuk Emi yang mempercarutkan Walikota merupakan tindakan yang keterlaluan secara adat  dan yang bersangkutan bisa dikenakan sanksi adat. Ninik mamak dari pesukuan ibuk Emi harus bertindak secara adat dan menjatuhkan sanksi hukum secara adat kepadanya. 

Dua,  menurut etika birokrasi dan protokoler pejabat negara, seorang Walikota berhak dan harus didampingi ajudan (adc) dalam setiap perjalanannya. Tugasnya selain mengatur jadwal kegiatan Walikota, juga melindungi dan membela Walikota dari kemungkinan kemungkinan terburuk. Dalam situasi seperti terlihat di video, adc harus sigap mengambil peran, karena keadaan sudah mulai tegang, telah mengarah pada  pelecehan atau hujatan kebencian kepada Walikota.  Dari sisi ini sejatinya adc harus diberi sanksi karena telah melakukan tindakan pembiaran yang mengakibatkan Walikota dipermalukan di muka umum. 

Tiga, Walikota harus membagi habis semua tugas kepada SKPD, kemudian meminta pertanggungjawaban atas tugas yang telah dilaksanakannya. Jika menurut pantauan Walikota ada tugas yang belum tuntas, cukup menginstruksikan Kepala SKPD terkait agar menindaklanjutinya. Kalau Kepala SKPD-nya tidak mampu, Walikota berhak menggantinya. 

Akan halnya penertiban pedagang K5 adalah tugasnya Pol.PP, bukan kerjanya Walikota. Kalau sampai penertiban pedagang K.5 yang berjualan di trotoar dilakukan oleh Walikota, apa kerja SKPD dan apakah Walikota mampu melakukan penertiban yang lain? 

Organisasi pemerintahan tak obahnya seperti tubuh manusia, ada kepala, ada kaki, ada tangan dll. Masing masing punya fungsi dan tugas sendiri sendiri. Kepala untuk berpikir, mendengar dan berkata kata, tangan untuk menarik/mengambil dan kaki untuk berjalan. Kalau kerja kaki dan tangan dilakukan juga oleh kepala, kasihan kepala jadi kaki dan kepala jadi tangan. Kata guru jurnalistik saya, itu namanya: Kepala Tak Lagi Jadi Kepala.

Empat, bagaimanapun juga kejadian ini harus diambil hikmahnya oleh semua pihak. Dalam hal tertentu, kejadian ini akan mendorong para pihak untuk saling mengevaluasi, tidak hanya di jajaran Pemko Padang, tapi juga stakeholder lainnya, baik pemerintahan, semi pemerintahan ataupun swasta. Wallahu a'lam  


Ditulis Oleh: Wardas Tanjung, magister politik lokal dan otonomi daerah, wartawan senior, mantan birokrat, ulama dan Ninik Mamak Limau Manih Kecamatan Pauh Kota Padang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar