Breaking

Jumat, 19 Agustus 2022

Taman Ismail Marzuki, Riwayatmu Kini

Baca Juga


Catatan: Nasrul Jalal

(Wartawan Senior)

 
Empat delapan tahun lalu pada Juli-Agustus- September 1974, saya menginap di Wisma Seni, Taman Ismail Marzuki/ TIM, Cikini Raya, Jakpus, DKI Jakarta.

Namun bukan sendiri tapi bersama 12 wartawan lainnya dari Medan, Palembang, Banjarmasin, Samarinda,  Ujungpandang kini Makassar, Surabaya, Denpasar dan Mataram.

Kami 13 orang wartawan adalah Peserta Job Training selama 3 bulan. Panitianya terdiri dari 4 lembaga.Yakni LPKP( Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers), LP3ES ( Lembaga Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial), PWI Pusat dan FES ( Friedrich Ebert Stiftung) sebuah GNO Jerman Barat sekaligus penyandang dana.

Berkunjung secara inconigto secara acak pada Sabtu 13 Agustus 2022, tampilan TIM sudah jauh berobah. Tidak ada lagi pintu gerbang yang di atasnya ada satu kosakata, Tjipta. Kata Tjipta berkonotasi kreatif dan inovatif.  Artinya para seniman dari berbagai ranah/ bidang haruslah banyak menampilkan hal-hal baru dalam berkesenian.

Tidak kelihatan lagi bangunan bundar planetarium di arah kanan. Atau bioskop Star Theater di arah kiri. Tapi saya menemukan bangunan gedung baru yang malang-melintang. Juga bangunan yang dalam penyelesaian.

Seorang teknisi subkon bercerita, bangunan yang memanjang di area TIM ini dipersiapkan untuk planetorium dan fasilitas pendukungnya. Bagian agak ke belakang berdiri kokoh sebuah bangunan gedung. Ini rupanya bangunan gedung Teater Besar. Halamannya bisa dimanfaatkan untuk konser musik.

Saat itu saya melihat ada pentas dan sejumlah perangkat musik. Wisma Seni yang ditahun 1974 yang managernya isteri sastrawan Trisno Soenarfjo alm, kini tidak ada lagi. Namun di area sebelah kiri dari posisi kita masuk TIM, telah berdiri bangunan hotel. Bangunan gedung IKJ masih ada. Dan jiga beberapa fasilitas lain untuk berkesenian.

Ada juga sebuah masjid kecil berbentuk persegi by ni empat. Namanya Masjid Amir Hamzah diambilkan dari nama penyair Amir Hamzah, yang terbunuh dalam huru-hara sosial di Tanah Deli tahun 1946.

Yang menarik perhatian juga Sabtu itu adalah ada  Posko Seniman Peduli TIM. Posisi Posko ini sebelum kita mencapai Gedung Teater Besar. Sejumlah seniman ini menolak Pergub Jakarta no 16/2022.

Salah seorang seniman yang mangkal di Posko tersebut mengaku sebagai seniman musik/ musikus dan juga mengaku bernama Yaser Arafat yang berasal dari Guguak Sarai, Kab Solok bercerita panjang lebar.

Intinya, Pergub 16/2022 memberi hak kepada PT Jakpro untuk mengelola TIM selama 28 tahun.

Inilah yang ditolak para seniman tersebut. Bagaimana perkembangan selanjutnya, agak bisa diketahui waktu-waktu ke depan nanti. Yang jelas, lahan TIM adalah milik pemerintah.

Dari berbagai literatur dapat kita baca bahwa TIM dibangun di masa orde lama, tetapi akhirnya baru bisa diresmikan setelah orde baru yakni pada Hari Pahlawan 10 November 1968 oleh Gubernur Jakarta, Ali Sadikin yang akrab disapa Bang Ali itu.

Pada mulanya itu adalah ruang rekreasi yang disebiut Taman Raden Saleh, ada juga dulu kebun binatang di situ.

Oleh Bang Ali kemudian disulap menjadi tempat ngumpulnya para seniman Jakarta, ia dijadikan Ousat Kesenian. Lalu semua Pemda dan seniman bersepakat memberi nama Taman Ismail Marzuki disingkat TIM. Ismail Marzuki adalah musisi dan komponis Betawi yang banyak mencipta lagu-lagu nasional.

Dikutip dari laman viva.co,id, pada permulaannya, pengelolaan TIM diserahkan kepada seniman dan budayawan. Bang Ali Sadikin juga membentuk Badan Pembina Kebudayaan yang menjadi cikal bakal Dewan Kesenian Jakarta, dan diketuai oleh Trisno Soemardjo.  Pada 1968, terdapat 25 anggota pertama Badan Pembina: Trisno Soemardjo (pelukis), Arief Budiman (sastrawan), Sardono W. Kusumo (penata tari), Zaini (pelukis), Binsar Sitompul (musikus), Teguh Karya (sutradara), Goenawan Mohamad (sastrawan), Taufiq Ismail (penyair), Pramana Padmodarmaya (pemain teater), Ayip Rosidi (penulis), H.B. Jassin (kritikus sastra), Misbach Yusa Biran (sutradara film dan sineas), Oesman Effendi, D. Djajakusuma (sutradara film), Asrul Sani (penulis naskah drama, sutradara film), Moh. Amir Sutaarga, D.A. Peransi (perupa) dan Sjuman Djaja (sutradara film). 

Akhirnya, pada 1973, seturut saran para seniman, Bang Ali mengambil jalan tengah dengan membentuk Akademi Jakarta yang berfungsi sebagai penasehat gubernur di bidang seni, serta berperan dalam penunjukkan seniman dan budayawan yang tergabung menjadi anggota dan pengurus Badan Pembina Kebudayaan (saat ini Dewan Kesenian Jakarta).  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar